Thursday, April 12, 2007

Menolong Bisa Menjadi Kewajiban

Menolong memang dianjurkan, kalau tidak boleh dibilang memang menjadi kewajiban bagi setiap orang kepada lainnya. Tetapi menjadi lain ceritanya jika sesuatu yang semula kita niatkan untuk menolong atau membantu menyelesaikan pekerjaan kawan yang memang sebenarnya merupakan tanggun jawabnya, tiba-tiab esok lusa kita lagi yang diminta mengerjakan pekerjaan itu, meskipun kawan yang kita tolong tersebut sedang senggang dan tak lagi sibuk. Apalagi pekerjaan yang dulu kita bantu menyelesaikannya ternyata berbuntut masalah, maka sudah pasti kita pula yang dikejar-kejar untuk menyelesaikannya. Alasannya sangat klasik, “Dulu kan Anda yang mengerjakannya, jadi Anda juga lah yang harus bertanggung jawab!”

Olala.
Itulah yang saya maksudkan sebagai menolong lama-lama bisa menjadi kewajiban.

Seorang kawan lain, pernah diminta oleh atasannya untuk membantu menyelesaikan pekerjaan sejawatnya. Dan ini tentunya disamping karena perintah atasan, sang pemilik pekerjaan juga dengan terbuka telah meminta bantuannya. Namun apa yang terjadi dikemudian hari, ternyata dialah seolah-olah yang harus bertanggung jawab terhadap pekerjaan itu. Bukan lagi sekedar sebagai orang yang membantu.

Banyak orang di dalam suatu perusahaan mau dan bersedia dengan ikhlas membantu menyelesaikan pekerjaan kolega atau sejawatnya, baik diperintahkan oleh atasan, diminta oleh sang pemilik pekerjaan atau bahkan karena kesadarannya sendiri, meskipun tanpa ada kontra prestasi apapun yang bakal diterimanya. Mereka semua mau dan bersedia dengan ikhlas karena bagi mereka hanya satu pertimbangannya, karena itu semua untuk kepentingan perusahaan.

Orang mau membantu menyelesaikan pekerjaan orang lain karena demi perusahaan. Demi kepentingan yang lebih besar, yaitu perusahaan yang sama-sama dicintai. Orang mau membantu menyelesaikan pekerjaan orang lain karena yang dilihat tidak lagi tugas dan tanggung jawab orang tersebut tetapi kepentingan yang lebih besar dibalik itu, yaitu kepentingan perusahaan. Kepentingan perusahaanlah mantra tertinggi yang diyakininya. Tetapi kalau kemudian ternyata dia harus bertanggung jawab semata-mata karena dialah yang dulu melakukan pekerjaan tersebut, oleh karenanya dia pulalah yang harus menyelesaikan pekerjaan yang sama di kemudian hari jika ada, maka persoalannya menjadi sangat berbeda.

Jika budaya perusahaan tidak lagi meletakkan kepentingan perusahaan sebagai kepentingan tertinggi di dalam organisasinya, karena akibat munculnya praktik-praktik yang tidak sehat seperti tersebut diatas, maka dapat dipastikan bahwa loyalitas hanya menunggu waktunya untuk gugur. Jika loyalitas kepada perusahaan hanya tinggal nama saja, maka dapat dipastikan perusahan itu juga tinggal kartu nama.


[silo]
Jakarta, 3 April 2007

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home