Saturday, April 28, 2007

Memaknai Pekerjaan

Memaknai sesuatu atau job enrichment adalah bagaimana kita memandang sesuatu. Bagaimana kita memandang sesuatu itu akan sangat tergantung pada bagaimana kita memaknai sesuatu tersebut.

Sewaktu kita hanya punya sepeda dan belum punya sepeda motor –apalagi mobil, kemana-mana setiap kali beraktivitas, kita selalu menggunakan sepeda. Entah itu ke sekolah, ke warung, ke perpustakaan, ke tempat les, ke rumah kawan atau kemanapun. Tetapi saat kita mulai dewasa dan banyak diantara kawan kita yang telah mengendarai sepeda motor bahkan mobil, maka kita sering beranggapan bahwa memakai sepeda motor apalagi mobil lebih bergengsi daraipada naik sepeda. Dengan kata lain mengendarai sepeda lebih terhina daripada mengendarai motor.

Ke sekolah menengah apalagi kuliah , kita sudah merasa malu menggenjot sepeda. Terlebih lagi ke rumah seorang kawan yang ditaksir. Kita lebih senang naik angkot daripada bersepeda. Lebih bergengsi dan berkelas, katanya.

Itulah contoh kongkret bagaimana kita memaknai sesuatu hal, dalam hal in sepeda. Jika kita memaknai bahwa sepeda merupakan alat angkut yang sangat hina, maka kita akan malau mengendarainya. Karena kita telah menganggap bahwa diri kita sanagat hina akibat sepeda itu.

Namun jika kia memaknainya dengan makna lain yang lebih tinggi, maka kia akan dengan senang hati atau bahkan sangat bangga mengendarai sepeda. Jika kita melekatkan makna bersepeda adalah olah raga, maka kita akan dengan senag hati bersepeda karena ada target tinggi berupa kebugaran yang hendak kita capai. Betapapun jalan naik ataupun turun gunung. Baik di jalan raya atau bahkan di jalan tanah berbatu atau berlumpur, kita akan dengan senang hati menggenjot sepeda bahkan menuntun atau memanggul sepeda itu jika jalan tak lagi bisa dilalui dengan mengendarainya. Itu semua kita lakukan dengan senang hati dan gembira. Bahkan ke kantorpun kita rela bersepda, jika meletakkan makna bersepeda adalah untuk mengurangi polusi kota. Terlebih-lebih jika kita memaknai bersepeda ke kantor adalah merupakan gaya hidup baru para eksekutif, maka kita akan dengan senang hati pula mengikuti gaya hidup itu. Karena dalam persepsi kita, kita tidak sedang mengendarai sepeda tetapi kita sedang larut mengikuti mode.

Demikian pula di lingkungan pekerjaan. Bagaimana kita memaknai setiap pekerjaan yang kita lakukan, akan sangat mempengaruhi kualitas hasil pekerjaan kita. Plaing tidak dari sisi interpretasi kita. Jika kita memaknai diri kita hanyalah sebagai anak buah dan pesuruh atasan, maka kita hanya akan bertindak jika kita disuruh dan dierintah oleh atasan tanpa inisiatif. Tetapi jika dengan pekerjaan yang sama kita memaknainya dengan lebih tinggi, sebagai partner atau bahkan sebagai pengatur pekerjaan atasan, maka kita secara tak sadar akan melakukan pekerjaan dengan lebih baik. Karena kita merasa yakin bahwa tanpa peran kita, atasan tidak akan dapat melaksanakan tugasnya dengan maksimal.

Itu semua baru memaknai sesuatu dari sisi lahiriah saja telah dapat mengubah persepsi orang untuk dapat bekerja dengan lebih baik, bagaimana pula jika memaknainya dari sisi batiniah. Memaknai pekerjaan dengan makna tertinggi yaitu makna di hadapan Allah. Jika kita memaknai segala sesuatu termasuk pekerjaan dan tugas yan sedang kita laksanakan semata-mata karena untuk beribadah kepada Allah, maka kita akan dengan ikhlas melakukannya. Tanpa perlu perintah ataupun instruksi dan tanpa perlu pula iming-iming insentif. Semua akan berjalan dengan mudahnya karena target tertinggi telah kita yakini yaitu ridlo Allah.

Kita akan dapat bekerja dengan lebih baik karena semata-mata untuk Allah melalui kepentingan perusahaan. Tidak sekedar bekerja untuk kepentingan yang lebih sempit, misalnya sekedar untuk mencari uang atau bahkan jabatan yan dibungkus dengan nama karir.

Thursday, April 12, 2007

Menolong Bisa Menjadi Kewajiban

Menolong memang dianjurkan, kalau tidak boleh dibilang memang menjadi kewajiban bagi setiap orang kepada lainnya. Tetapi menjadi lain ceritanya jika sesuatu yang semula kita niatkan untuk menolong atau membantu menyelesaikan pekerjaan kawan yang memang sebenarnya merupakan tanggun jawabnya, tiba-tiab esok lusa kita lagi yang diminta mengerjakan pekerjaan itu, meskipun kawan yang kita tolong tersebut sedang senggang dan tak lagi sibuk. Apalagi pekerjaan yang dulu kita bantu menyelesaikannya ternyata berbuntut masalah, maka sudah pasti kita pula yang dikejar-kejar untuk menyelesaikannya. Alasannya sangat klasik, “Dulu kan Anda yang mengerjakannya, jadi Anda juga lah yang harus bertanggung jawab!”

Olala.
Itulah yang saya maksudkan sebagai menolong lama-lama bisa menjadi kewajiban.

Seorang kawan lain, pernah diminta oleh atasannya untuk membantu menyelesaikan pekerjaan sejawatnya. Dan ini tentunya disamping karena perintah atasan, sang pemilik pekerjaan juga dengan terbuka telah meminta bantuannya. Namun apa yang terjadi dikemudian hari, ternyata dialah seolah-olah yang harus bertanggung jawab terhadap pekerjaan itu. Bukan lagi sekedar sebagai orang yang membantu.

Banyak orang di dalam suatu perusahaan mau dan bersedia dengan ikhlas membantu menyelesaikan pekerjaan kolega atau sejawatnya, baik diperintahkan oleh atasan, diminta oleh sang pemilik pekerjaan atau bahkan karena kesadarannya sendiri, meskipun tanpa ada kontra prestasi apapun yang bakal diterimanya. Mereka semua mau dan bersedia dengan ikhlas karena bagi mereka hanya satu pertimbangannya, karena itu semua untuk kepentingan perusahaan.

Orang mau membantu menyelesaikan pekerjaan orang lain karena demi perusahaan. Demi kepentingan yang lebih besar, yaitu perusahaan yang sama-sama dicintai. Orang mau membantu menyelesaikan pekerjaan orang lain karena yang dilihat tidak lagi tugas dan tanggung jawab orang tersebut tetapi kepentingan yang lebih besar dibalik itu, yaitu kepentingan perusahaan. Kepentingan perusahaanlah mantra tertinggi yang diyakininya. Tetapi kalau kemudian ternyata dia harus bertanggung jawab semata-mata karena dialah yang dulu melakukan pekerjaan tersebut, oleh karenanya dia pulalah yang harus menyelesaikan pekerjaan yang sama di kemudian hari jika ada, maka persoalannya menjadi sangat berbeda.

Jika budaya perusahaan tidak lagi meletakkan kepentingan perusahaan sebagai kepentingan tertinggi di dalam organisasinya, karena akibat munculnya praktik-praktik yang tidak sehat seperti tersebut diatas, maka dapat dipastikan bahwa loyalitas hanya menunggu waktunya untuk gugur. Jika loyalitas kepada perusahaan hanya tinggal nama saja, maka dapat dipastikan perusahan itu juga tinggal kartu nama.


[silo]
Jakarta, 3 April 2007