Wednesday, June 27, 2007

Pindahan


Jika saat ini anda tidak menemukan postingan artikel baru di blog ini, itu bukan berarti saya berhenti menulis ataupun pensiun menulis. Apalagi berhenti menggagas. Karena bagi saya berhenti menulis apalagi menggagas berarti berhenti bernapas. Karena menggagas, bernapas dan menulis adalah satu helaan.


Oleh karena itu jika tak anda temukan yang baru disini, temukanlah di rumah saya yang lain di http://www.jamugendong.wordpress.com/ atau di http://www.kompasiana.com/jamugendong. Tetap jamu gendong, sepet, pahit, sedikit manis namun tetap menyehatkan.

Selamat menikmati dan saya tunggu komentar anda.

Friday, May 11, 2007

Orang Besar

Apakah anda ingin menjadi orang besar?

Setiap orang pada dsarnya, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi, pasti ingin menjadi ”orang besar”. Besar dalam segalahal yang dia mampu, tentunya.

Jika anda seorang insinyur, pasti anda ingin menjadi insinyur yang besar. Jika anda seorang dokter, pasti ingin menjadi seorang dokter spesialis yang dapat dipersepsi oleh orang lain sebagai orang besar. Saya tidak ingin mengatakan bahwa dokter umum itu lebih rendah dari dokter spesialis. Atau dokter umum itu bukan spesialis. Karena menurut saya, dokter umum itu juga spesialis. Yaitu spesialis umum!

Jika anda seorang akuntan, pasti anda ingin menjadi rujukan untuk setiap kasus akuntansi yang muncul di perusahaan anda. Dan jika anda seorang atasan, pasti anda ingin menjdai atasan yang besar. Besar karena anda mempunyai peran yang besar dalam memajukan perusahaan. Besar juga karena anda telah banyak menciptakan para bawahan anda itu menjadi kader-kader anda yang siap menggantikan anda kapanpun perusahaan mengaturnya. Kebesaran kita itu karena kita telah berhasil membesrkan orang lain. Kebesaran kita justru akan semakin nampak seperti permata yang berkilau manakala dari tangan kita telah lahir pembesar-pembesar baru.

Apakah anda benar-benar ingin menjadi orang besar? Jika ya, mak besarkanlah orang lain terlebih dahulu. Kita tak mungkin menjadi orang besar tanpa membuat orang lain menjadi besar. Kita tak mungkin disebut sebagai orang besar jika belum melahirkan orang besar-orang besar yang baru melalui kaderisasi.

Jadi, kalau mau menjadi orang besar, anda harus bisa membesarkan orang lain terlebih dahulu.


[silo]
7 Mei 2007

Friday, May 04, 2007

Ada Bonus di Depan Kantor

Kalau sampeyan kebetulan sedang lewat di depan kantor saya di seputaran Jalan Japati Bandung, atau kalau memang sampeyan sedang perjalanan dinas ke kantor saya dan melihat di depan kantor saya ada banyak dealer mobil buka lapak alias buka pameran mobil baru, bisa dipastikan bahwa sebentar lagi pasti kantor saya akan bermurah hati membagikan bonus. Entah itu namanya bantuan untuk anak sekolah, insentif, bonus, angpaw, kadeudeuh atau apapun namanya. What is a name, kata shakespeare. Yang jelas akan ada uang yang ditransfer oleh perusahaan ke masing-masing rekening karyawan.

Bukan masalah bonus itu yang saya perkarakan. Bukan pula masalah besarannya, yang mungkin saya terima lebih rendah dari sampeyan. (Astagfirullah. Ya, Allah jadikanlah saya orang yang selalu bersyukur berapapun rejeki yang Engkau berikan kepada saya!). Namun fenomena yang ingin saya kemukakan ke hadapan pembaca adalah: kok para dealer itu tahu, kalau perusahaan mau bagi-bagi bonus?

Para dealer itu memang tajam penciumannya. Tajam analisis dan marketing geurillia-nya, sehingga tahu kapan perusahaan saya akan membagikan bonus. Karena menurut ilmu dasar mereka (yang dulu juga pernah saya ikuti di awal-awal kuliah), bahwa dengan adanya penambahan income berarti akan bertambah pula tingkat consumption. Meskipun dalam persamaa itu Y=C+S yang berarti income sama dengan cunsumption ditambah saving, tetapi ternyata di dunia (manusia) yang nyata muncul kecenderungan setiap ada penambahan tingkat income hanya diikuti oleh penambahan tingkat consumption–nya saja dan tidak pernah diikuti oleh penambahan tingkat saving alias menabungnya.

Lha boro-boro nambahi tabungan atau menabung kayak lagu yang dulu sering kita nyanyikan waktu kecil, wong buat nutup konsumsi standar saja, basic need kata Maslow, masih kurang kok. Lha cuman sayangnya, basic need yang dibilang Maslow itu sekarang jadi keblinger ukurannya. Kebutuhan dasar rumah, misalnya, tidak lagi didefinisikan sekedar rumah sederhana atau RSSSSS (Rumah Sederhana Sehingga Susah Selingkuh!). Tetapi menjadi apartemen. Jadi kalau beli apartemen tidak lagi diartikan sebagai self acualization, tetapi sebagai pemenuhan atas basic need. Makan juga begitu. Tidak lagi makan asal kenyang, tetapi sudah menjadi ‘makan dimana’ melebihi ‘makan apa’.

Halah, kok nglantur!
Tadi kan kita lagi ngomongin fenomena bonus yang tiba-tiba saja informasinya tersaji di depan kantor. Saya juga enggak tahu dan rasanya juga enggan untuk mencoba mencari tahu, darimana para dealer mobil itu tahu informasi kalau kantor saya mau bagi-bagi bonus. Justru setiap kali ada dealer yang buka pameran mobil baru di depan kantor, saya malah jadi sakit hati. Lho kok sakit hati, kan sebentar lagi mau terima bonus. Bukan, bukan karena itu sakit hatinya. Sakit hati saya justru kepada para espege itu yang tidak pernah nawari saya mobil baru tersebut. Jangankan nawari dan mempromosikan kehebatan mobil baru yang dijualnya, melirik dan sekedar membagikan brosur kepada saya saja tidak. Yang membuat lebih sakit hati, kok mereka juga tahu kalau saya memang bukan target market mereka.

silo
Bandung, 4 Mei 2007

Wednesday, May 02, 2007

Atasan Adalah Kendaraan

Siapa yang bisa mempromosikan anda ke jenjang yang lebih tinggi? Siapa yang bisa menilai anda dengan sangat obyektif? Tak ada orang lain yang dapat bertindak seperti itu, kecuali atasan kita.

Atasan anda adalah sebagian besar tempat dimana anda meletakkan dan mempercayakan karir anda.

Ter

Pada jaman kompetisi yang semakin ketat, serentak dan turbulen ini, tidak ada lagi pilihan bagi kita selain menjadi orang yang ‘ter’ dalam bidang apapun yan sedang kita kerjakan atau ditugaskan oleh perusahaan kepada kita. Tidak ada lagi ruang bagi orang dengan prestasi yang biasa-biasa saja. Oleh karena itu jika prestasi anda tercapai hanya setinggi target yang telah ditetapkan, maka anda hanya menjadi orang yang biasa-biasa saja. Dan itu tak akan pernah dilihat oleh atasan anda, apalagi oleh orang lain.

Dalam iklim seperti ini, orang hanya mau melihat sesuatu yang luar biasa, yang ’ter’. Oleh karena itu jangan pernah anda bangga karena performansi anda telah memenuhi target. Terpenuhinya target ini baru menjadikan diri anda sebagai orang yang biasa-biasa saja. Belum menjadi orang yang istimewa, apalagi yang ’ter’.

Terlebih jika performansi kita tidak mencapai target apalagi jauh dibawahnya, mka jangan pernah berharap orang lain akan melirik kita apalagi melihat dan memperhatikan kita.

Tidak ada lagi pilihan bagi kita selain menjadi yang ’ter’ dalam segala hal yang kita kerjakan. Kita harus dapat memastikan bahwa apapun yang kita kerjakan dapat menghasilkan sesuatu diatas harapan rata-rata orang. Kita harus dapat menghasilkan sesuatu yang berguna dan penting bagi orang lain. Karena itu jangan pernah kita mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh orang lain. Jangan pernah kita mengerjakan sesuatu yang tidak mempunyai nilai lebih dan bermanfaat bagi orang lain.

Dengan menjadi yang ’ter’ dalam setiap bidang yang kita kerjakan, akan menciptakan peluang bagi diri kita untuk dikenal oleh orang lain. Jika orang telah mengenal kompetensi, prestasi dan performansi kita, maka bersiaplah anda menjadi orang yang selalu dicari oleh orang lain. Karena anda adalah nara sumber. Tak ada orang lain yang dapat berkontribusi melebihi anda. Dalam diri anda selalu memancarkan sesuatu yang selalu dibutuhkan oleh orang lain. Keberadaan kita selalu menjadikan sesuatu lebih lengkap. Bukan sebaliknya, Ada tetapi tidak ada, tekane ora ngganepi, lungane ora ngganjili.

Kadangkala kita juga sedemikian sibuknya dengan pekerjaan yang tidak ada habis-habisnya, sementara kolega lain sedemikian santainya karena tidak mempunyai pekerjaan padahal gajinya sama. Janganlah sekali-kali kita mengeluh dan iri kepadanya, karena sesungguhnya kita mempunyai kesempatan yang lebih luas guna menunjukkan prestasi dan performansi kita untuk menjadi yang ’ter’!


Bandung, 2 Mei 2007

Syukuran

Ketika seseorang mendapatkan “sesuatu keberhasilan”, biasanya ia akan mengucap syukur kepada Yang Maha Kuasa. Keberhasilan itu bisa dalam bentuk lulus ujian, kenaikan kelas, kenaikan pangkat, memperoleh jabatan baru, pindah rumah baru atau mungkin mutasi ke tempat yang diinginkan. Terhadap semua hal tersebut memang sudah sepatutnya kita mengucap syukur kepada Yang Maha Kuasa.

Namun meskipun anda sudah mengucap syukur atas keberhasilan tersebut, biasanya rekan-rekan anda akan menagih kapan syukurannya?

Dalam bahasa pertemanan, istilah syukuran ini lebih banyak diartikan dengan ”kapan kita makan-makan” untuk merayakan keberhasilan tersebut. Berkumpul bersama dengan rekan-rekan, kemudian ada sedikit sambutan, ceramah atau apapun bentuknya terus dilanjutkan dengan acara pokok yaitu makan-makan.

Acara seperti ini sudah menjadi trend atau kewajiban yang tidak tertulis bahwa setiap orang yang memperoleh statu keberhasilan maka wajib untuk mengundang rekan-rekan, untuk ngumpul, ngobrol dan akhirnya makan-makan.

Adakah sesuatu yang salah dengan hal ini? Jelas bahwa acara syukuran ini tidak salah, bahkan lebih banyak manfaat yang bisa diperoleh bagi orang yang mengundang maupun yang diundang. Ada silaturahmi, ada canda, ada tawa dan mungkin juga akan mengingatkan kembali pada masa-masa lalu tentang pengalaman lucu sewaktu masih muda.

Namun kadang kala, acara syukuran ini juga bisa dilakukan di cafe atau tempat pertemuan lainnya yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi yang diharapkan. Datang, say hello, ngrumpi, makan & minum terus ngobrol sampai malam, terus pulang...... selesai.

Berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk acara seperti ini? Biaya yang timbul sangat bervariasi mulai dari yang paling sederhana dalam jumlah puluhan ribu rupiah, atau ratusan ribu rupiah bahkan mungkin jutaan rupiah. Tapi yang jelas, meskipun harus mengeluarkan sejumlah uang yang besar, tentu tidak menjadi masalah bagi orang yang mendapat keberhasilan, karena secara financial jelas berkecukupan.

Lalu apa yang salah dengan syukuran, kalau memang hal ini sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat pada umumnya?

Model syukuran yang selama ini banyak dilakukan adalah dengan cara-cara seperti di atas, dan sebenarnya hasil akhirnya sama saja….., datang, ngobrol, makan, pulang dan semua yang dimakan akhirnya (mohon maaf) dibuang di toilet. Selesailah sudah.

Sebenarnya masih banyak cara lain untuk ”syukuran”, dan mungkin akan banyak manfaat yang dapat diperoleh bagi orang yang syukuran maupun pihak lain yang terlibat, baik manfaat jangka pendek maupun jangka panjang.

Mungkin anda masih ingat, kejadian tragis yang sebenarnya tidak perlu terjadi terhadap seorang anak yang malu tidak dapat membayar uang sekolah bulanan (yang besarnya lebih kecil dari satu kali makan siang anda?) berupaya untuk bunuh diri karena malu tidak bisa membayar?

Kejadian ini sebenarnya hanya merupakan puncak gunung es di lautan, yang sangat kecil kelihatannya, namun permasalahan yang sangat besar belum terungkap.

Masih banyak saudara-saudara kita yang hidup dalam serba kekurangan, sehingga lebih baik mengorbankan bangku sekolah untuk dapat membantu orang tua dalam mencari penghasilan. Selain itu masih banyak anak-anak dipanti asuhan yang memerlukan bantuan untuk bisa sekolah.

Bayangkan bila hal ini terjadi dalam jangka waktu yang panjang, maka kita akan kehilangan calon penerus bangsa yang tidak dibekali pendidikan yang cukup.Tentu anda juga tergerak untuk dapat membantu sebagian kecil dari mereka, agar dapat meneruskan sekolahnya.

Salahsatu cara untuk ikut membantu mereka adalah, merubah model syukuran kita yang semula kita mengeluarkan uang dalam jumlah banyak hanya untuk makan-makan, marilah kita salurkan untuk bantuan pendidikan bagi yatim piatu, anak-anak tak mampu.

Apabila semua diantara kita mengubah model syukuran dengan cara ini, maka akan banyak anak-anak yang akan memperoleh pendidikan.

Smoga!

Bandung, 30 Mei 2005
Ditulis oleh: Purwadi Siswana
Diposting atas ijin ybs dari http://www.poerwadi.blogspot.com/2005_11_01_archive.html

Tuesday, May 01, 2007

Ngempan Papan

Ngempan papan adalah bagaimana kita menempatkan diri dalam suatu lingkungan tertentu. Jika anda seorang bawahan, bagaimana anda memposisikan diri anda sebagai bawahan. Jika anda seorang atasan, maka bagaimana anda bertindak dan menempatkan diri anda sebagai atasan yang menjadi contoh serta role model bagi sebagian besar kita yang masih menganut budaya paternalis.

Oleh karena itu, jika “kebetulan” kita sedang berada pada posisi bawahan, maka jangan sekali-kali kita berperan sebgai pimpinan. Jika perusahaan anda m,enunjuk anda sebagai pimpinan, maka janganlah anda berperan sebagai bawahan. Karena perusahaan bagaimanapun juga telah menunjuk anda dengan mempertimbangakan berbagaii hal termasuk kompetensi anda yang dipandang mampu bertindak sebagai pimpinan.

Dan yang lebih penting, perusahaan telah membayar anda sebagai pimpinan dan bukan sebagai bawahan. Oleh karena itu bertindaklah sesuai kapasitas anda. Tidak lebih, apalagi kurang!

Saturday, April 28, 2007

Memaknai Pekerjaan

Memaknai sesuatu atau job enrichment adalah bagaimana kita memandang sesuatu. Bagaimana kita memandang sesuatu itu akan sangat tergantung pada bagaimana kita memaknai sesuatu tersebut.

Sewaktu kita hanya punya sepeda dan belum punya sepeda motor –apalagi mobil, kemana-mana setiap kali beraktivitas, kita selalu menggunakan sepeda. Entah itu ke sekolah, ke warung, ke perpustakaan, ke tempat les, ke rumah kawan atau kemanapun. Tetapi saat kita mulai dewasa dan banyak diantara kawan kita yang telah mengendarai sepeda motor bahkan mobil, maka kita sering beranggapan bahwa memakai sepeda motor apalagi mobil lebih bergengsi daraipada naik sepeda. Dengan kata lain mengendarai sepeda lebih terhina daripada mengendarai motor.

Ke sekolah menengah apalagi kuliah , kita sudah merasa malu menggenjot sepeda. Terlebih lagi ke rumah seorang kawan yang ditaksir. Kita lebih senang naik angkot daripada bersepeda. Lebih bergengsi dan berkelas, katanya.

Itulah contoh kongkret bagaimana kita memaknai sesuatu hal, dalam hal in sepeda. Jika kita memaknai bahwa sepeda merupakan alat angkut yang sangat hina, maka kita akan malau mengendarainya. Karena kita telah menganggap bahwa diri kita sanagat hina akibat sepeda itu.

Namun jika kia memaknainya dengan makna lain yang lebih tinggi, maka kia akan dengan senang hati atau bahkan sangat bangga mengendarai sepeda. Jika kita melekatkan makna bersepeda adalah olah raga, maka kita akan dengan senag hati bersepeda karena ada target tinggi berupa kebugaran yang hendak kita capai. Betapapun jalan naik ataupun turun gunung. Baik di jalan raya atau bahkan di jalan tanah berbatu atau berlumpur, kita akan dengan senang hati menggenjot sepeda bahkan menuntun atau memanggul sepeda itu jika jalan tak lagi bisa dilalui dengan mengendarainya. Itu semua kita lakukan dengan senang hati dan gembira. Bahkan ke kantorpun kita rela bersepda, jika meletakkan makna bersepeda adalah untuk mengurangi polusi kota. Terlebih-lebih jika kita memaknai bersepeda ke kantor adalah merupakan gaya hidup baru para eksekutif, maka kita akan dengan senang hati pula mengikuti gaya hidup itu. Karena dalam persepsi kita, kita tidak sedang mengendarai sepeda tetapi kita sedang larut mengikuti mode.

Demikian pula di lingkungan pekerjaan. Bagaimana kita memaknai setiap pekerjaan yang kita lakukan, akan sangat mempengaruhi kualitas hasil pekerjaan kita. Plaing tidak dari sisi interpretasi kita. Jika kita memaknai diri kita hanyalah sebagai anak buah dan pesuruh atasan, maka kita hanya akan bertindak jika kita disuruh dan dierintah oleh atasan tanpa inisiatif. Tetapi jika dengan pekerjaan yang sama kita memaknainya dengan lebih tinggi, sebagai partner atau bahkan sebagai pengatur pekerjaan atasan, maka kita secara tak sadar akan melakukan pekerjaan dengan lebih baik. Karena kita merasa yakin bahwa tanpa peran kita, atasan tidak akan dapat melaksanakan tugasnya dengan maksimal.

Itu semua baru memaknai sesuatu dari sisi lahiriah saja telah dapat mengubah persepsi orang untuk dapat bekerja dengan lebih baik, bagaimana pula jika memaknainya dari sisi batiniah. Memaknai pekerjaan dengan makna tertinggi yaitu makna di hadapan Allah. Jika kita memaknai segala sesuatu termasuk pekerjaan dan tugas yan sedang kita laksanakan semata-mata karena untuk beribadah kepada Allah, maka kita akan dengan ikhlas melakukannya. Tanpa perlu perintah ataupun instruksi dan tanpa perlu pula iming-iming insentif. Semua akan berjalan dengan mudahnya karena target tertinggi telah kita yakini yaitu ridlo Allah.

Kita akan dapat bekerja dengan lebih baik karena semata-mata untuk Allah melalui kepentingan perusahaan. Tidak sekedar bekerja untuk kepentingan yang lebih sempit, misalnya sekedar untuk mencari uang atau bahkan jabatan yan dibungkus dengan nama karir.

Thursday, April 12, 2007

Menolong Bisa Menjadi Kewajiban

Menolong memang dianjurkan, kalau tidak boleh dibilang memang menjadi kewajiban bagi setiap orang kepada lainnya. Tetapi menjadi lain ceritanya jika sesuatu yang semula kita niatkan untuk menolong atau membantu menyelesaikan pekerjaan kawan yang memang sebenarnya merupakan tanggun jawabnya, tiba-tiab esok lusa kita lagi yang diminta mengerjakan pekerjaan itu, meskipun kawan yang kita tolong tersebut sedang senggang dan tak lagi sibuk. Apalagi pekerjaan yang dulu kita bantu menyelesaikannya ternyata berbuntut masalah, maka sudah pasti kita pula yang dikejar-kejar untuk menyelesaikannya. Alasannya sangat klasik, “Dulu kan Anda yang mengerjakannya, jadi Anda juga lah yang harus bertanggung jawab!”

Olala.
Itulah yang saya maksudkan sebagai menolong lama-lama bisa menjadi kewajiban.

Seorang kawan lain, pernah diminta oleh atasannya untuk membantu menyelesaikan pekerjaan sejawatnya. Dan ini tentunya disamping karena perintah atasan, sang pemilik pekerjaan juga dengan terbuka telah meminta bantuannya. Namun apa yang terjadi dikemudian hari, ternyata dialah seolah-olah yang harus bertanggung jawab terhadap pekerjaan itu. Bukan lagi sekedar sebagai orang yang membantu.

Banyak orang di dalam suatu perusahaan mau dan bersedia dengan ikhlas membantu menyelesaikan pekerjaan kolega atau sejawatnya, baik diperintahkan oleh atasan, diminta oleh sang pemilik pekerjaan atau bahkan karena kesadarannya sendiri, meskipun tanpa ada kontra prestasi apapun yang bakal diterimanya. Mereka semua mau dan bersedia dengan ikhlas karena bagi mereka hanya satu pertimbangannya, karena itu semua untuk kepentingan perusahaan.

Orang mau membantu menyelesaikan pekerjaan orang lain karena demi perusahaan. Demi kepentingan yang lebih besar, yaitu perusahaan yang sama-sama dicintai. Orang mau membantu menyelesaikan pekerjaan orang lain karena yang dilihat tidak lagi tugas dan tanggung jawab orang tersebut tetapi kepentingan yang lebih besar dibalik itu, yaitu kepentingan perusahaan. Kepentingan perusahaanlah mantra tertinggi yang diyakininya. Tetapi kalau kemudian ternyata dia harus bertanggung jawab semata-mata karena dialah yang dulu melakukan pekerjaan tersebut, oleh karenanya dia pulalah yang harus menyelesaikan pekerjaan yang sama di kemudian hari jika ada, maka persoalannya menjadi sangat berbeda.

Jika budaya perusahaan tidak lagi meletakkan kepentingan perusahaan sebagai kepentingan tertinggi di dalam organisasinya, karena akibat munculnya praktik-praktik yang tidak sehat seperti tersebut diatas, maka dapat dipastikan bahwa loyalitas hanya menunggu waktunya untuk gugur. Jika loyalitas kepada perusahaan hanya tinggal nama saja, maka dapat dipastikan perusahan itu juga tinggal kartu nama.


[silo]
Jakarta, 3 April 2007